Rabu, 29 Desember 2010

Yang Salah Saya ataukah Mereka?

Mungkin tulisan ini akan menjadi segelintir contoh yang menggambarkan betapa buruknya birokrasi di negara kita. Dan sebelumnya mohon maaf jikalau ada yang kurang berkenan dengan tulisan ini.
Sebagai seorang warga negara yang baik tentunya saya harus menaati berbagai peraturan yang ada. Serta menjalankan hak dan kewajiban saya dengan seimbang. Berbicara tentang kewajiban, sebagai seorang pengendara sepeda motor tentunya saya wajib memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM).
Untuk itu sebelum lebaran tahun kemarin, saya berusaha untuk memnuhi kewajiban tersebut. Ya saya membuat SIM. Sebelum itu saya mencoba sharing baik dengan teman atau tetangga tentang pembuatan SIM. Dan anehnya 99% dari mereka menyuruh saya ”nembak” saja.
Dan bukannya sombong tapi saya menampik usulan tersebut dengan mengurus sendiri pembuatan SIM, untuk itu saya harus ke Polres. Hari pertama saya harus cek dokter. Ada hal sangat aneh disini, antriannya begitu sangat amat panjang. Selain itu, cek dokter ternyata bukan diperiksa dokter. Tapi lebih pada dalam rangka mendapatkan selembar kertas yang entah siapa yang mengisi (maksud saya mungkin bukan dokter). Dan yang menjadi pertanyaan dalam hati, memang tidak bisa kalau diperiksa di puskesmas saja? Biayanya juga mungkin bisa lebih kecil. ^_^
Dari sini saya mulai putus asa, tapi teringat pernah ditilang polisi. Semangat saya kembali muncul. Setelah mendapatkan surat dokter, kemudian harus mengisi fomulir. Dan saat pengambilan formulir saya melihat tulisan besar yang intinya melakukan reformasi birokrasi di tubuh kepolisian. Setelah itu saya harus mengikuti tes. Ya inilah inti dari masalah pembuatan SIM.
Tes pertama yakni praktek dan seteah lulus baru teori. Nyali saya ciut saat melihat lintasan yang harus saya lewati untuk lulus. Ditambah lagi dari puluhan (mungkin sampai ribuan) orang yang saya lihat belum ada satupun yang lulus.
Dalam ujian tersebut ada dua polisi yang menguji. Dan sebelum diuji polisi tersebut memberikan contoh. Memang terlihat gampang, akan tetapi banyak orang yang ”ngedumel”. Terutama mereka yang telah diuji dan yang akan diuji ulang (karena sebelumnya tidak lulus). Dilihat di lapangan saat itu, saya kagum dengan polisi yang menguji karena dari perilakunya sangat mencerminkan kedisiplinan. Ya itulah inti dari polisi pikirku.
Tiba saatnya saya diuji, meski di jalan seseram dan sesulit apaun saya selalu bisa melewatinya tapi tidak kali ini. Tiga kali kesempatan yang diberikan dan tiga kali pula saya gagal total. Tidak hanya saya, mereka yang satu kelompok dengan saya pun tidak ada yang lulus.
Banyak cercaan yang timbul, ditambah karena pada saat itu sedang ramai-ramainya mudik menjelang lebaran. Akan tetapi pak polisi tetap tak gentar menghadapi berbagai cercaan tersebut. Dan walau sangat kecewa terdapat sedikit rasa bangga dihati. Karena gagal melewati ujian tersebut (saya namai ujian ketidakadilan, karena memang tidak adil dan sangat sulit dilewati) saya harus mengulangnya.
 Di rumah berbagai omelan dari ayah saya muncul. Beliau bilang saya salah karena tidak bersedia untuk ”nembak” saja. Keputusasaan memenuhi hati saya, akan tetapi tidak lama kemudian hal itu runtuh. Ya dengan sangat terpaksa saya menghubungi seorang polisi (entah siapa) untuk ”nembak”.
Yang lebih membuat saya sangat amat heran, ternyata polisi yang saya hubungi dan bersedia untuk ”membantu” ialah polisi yang menguji saya saat ujian praktek. Tulisan reformasi birokrasi yang terpampang gagah seakan tak berarti, kekaguman juga runtuh seketika. Namun, apalah daya saya harus melewati jalan ini untuk memnuhi kewajiban saya sebagai pengendara motor. mungkin memang  jalan ini salah tetapi juga ada benarnya.
Pada saat saya bertemu polisi dan ”bernegosiasi” ternyata banyak juga yang senasib dengan saya. Rasa kagum benar-benar runtuh, saat ada seorang  yang berumur kurang dari 17 tahun yang juga akan ”nembak”. Polisi berkata ” walau saya terima pun datanya tidak akan diterima komputer, lebih baik anda ke kantor kelurahan untuk menambah umur anda”. Saya benar-benar terpukau.
Kenyataan di atas tentu sangat memprihatinkan. Saya tidak dapat menentukan saya ataukah pihak polisi yang salah. Saya hanya telah berusaha menjadi warga negara yang baik, tetapi niat tersebut begitu sulit karena ujian yang juga sangat amat sulit. Kepolisian mungkin saja mengurangi berbagai hambatan yang muncul sehingga reformasi birokrasi yang terpampang dengan gagah tidak sekedar untuk hiasan tetapi juga benar-benar terwujud.
Dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, birokrasi haruslah mengembangkan:
1.      etika yang syarat dengan nilai-nilai moral dan keagamaan dalam menjalankan fungsinya, dalam mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial (social equity). Karena persoalan yang dihadapi birokrasi adalah adanya ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka yang kaya akan lebih mudah meraih kesempatan yang lebih baik dalam mendapatkan pengetahuan, dan posisi yang senantiasa yang menguntungkan dalam suatu sistem pemerintahan.
2.      etika yang mengacu pada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara, yang merujuk pada konstitusi.
3.      etika yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Hal ini hanya mungkin terlaksanan bila ada tekad, kesadaran yang sama bahwa reformasi, modernisasi untuk menuju pemerintahan yang bersih (clean goverment) disertai terbangunnya pemberdayaan kultur masyarakat sipil (civil society) dalam kehidupan budaya politik bangsa Indonesia (Ahmad, 2009:).

Sumber Rujukan:
Sumargono, Ahmad. 2009. Reformasi Birokrasi (Menuju Pemerintahan Yang Bersih, Telaah Kritis Terhadap Perjalanan Birokrasi di Indonesia). PKSPP: Jakarta.t tulisan besar yang intinya melakukan reformasi birokrasi di tubuh kepolisian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar